Friday, August 6, 2010

Umat Islam Indonesia Memasuki Zaman Moderen: Sebuah Pengantar Yang Panjang

Ketika membahas tentang Indonesia secara lebih utuh kita tidak akan bisa melepaskan diri dari membahas tentang Islam, agama yang dianut oleh mayoritas penduduk yang mendiami negara kepulauan tersebut. Islam merupakan bagian dari realitas Indonesia. Membahas tentang Indonesia tanpa membahas Islam dan umat Islam bisa diartikan tidak membahas Indonesia secara utuh.

Salah satu buku yang membahas tentang Keislaman dan Keindonesiaan adalah Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan kemodernan, yang ditulis oleh lokomotif penarik gerbong pembaharuan pemikiran Islam Indonesia, Prof. Dr. Nurcholis Madjid, atau yang akrab disapa Cak Nur.


Islam Doktrin dan Peradaban pada awalnya adalah kumpulan tulisan yang sebagian besarnya berasal dari tulisan-tulisan Cak Nur yang disampaikan pada Klub Kajian Agama (KKA) Yayasan Wakaf Paramadina. Dalam penyajian diskusi KKA selalu menghadirkan dua orang penyaji, satu penyaji tamu sebagai pembicara utama, dan “penyaji dalam” untuk menjaga keruntutan tema-tema diskusi dari awal sampai akhir. Cak Nur merupakan salah satu penyaji dalam tersebut.

KKA sendiri digagas oleh Utomo Dananjaya, pengajar pada Universitas Paramadina di Jakarta, dikenal sebagai teman dekat Cak Nur saat mencetuskan Gerakan Pemikiran Keislaman pada 1970.

Islam Doktrin dan Peradaban pertama kali diterbitkan pada Februari 1992 oleh Yayasan Wakaf Paramadina. Sambutan masyarakat begitu antusias terhadap buku ini sehingga cetakan keduanya pun dibuat lagi pada Desember 1992. Ini kemudian diikuti oleh cetakan-cetakan berikutnya.

Kumpulan-kumpulan tulisan tersebut dibagi dalam empat bagian. Bagian Kesatu diberi judul Tauhid dan Emansipasi Harkat Kemanusiaan. Topik-topik yang dibahas dalam bagian ini meliputi: Iman dan Tata Nilai Rabbiniyah; Iman dan Persoalan Makna Serta Tujuan Hidup Manusia; Takwa, Tawakkal, dan Ikhlas; Ibadah Sebagai Institusi Iman; Efek Pembahasan Semangat Tauhid; Iman dan Emansipasi Harkat Kemanusiaan; Iman dan Perwujudan Masyarakat yang Adil Terbuka Serta Demokratis; Iman dan Pengembangan ilmu Pengetahuan; Iman dan Kemajemukan Masyarakat: Intra-Umat Islam; Iman dan Kemajemukan Masyarakat: Antar Umat. Judul Bagian Kesatu diambil dari satu topik pembahsan di dalamnya.

Bagian Kedua dari buku ini diberi judul Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional. Topik-topik pembahasan dalam bagian ini adalah: Disiplin Keilmuan Tradisonal Islam: Ilmu Kalam; Filsafat Islam: Unsur-unsur Hellenisme di dalamnya; Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional: Fiqh; Disiplin Keilmuan Islam Tradisional: Tasawuf; Kekuatan dan Kelemahan Paham Asy’ari sebagai Doktrin Aqidah Islamiyah. Salah satu hal yang menarik dari bagian ini adalah bahwa bagian ini diakhiri dengan topik tentang Paham Asy’ariayah, paham keagamaan yang dianut oleh umat Islam Nusantara, bahkan dunia.

Bagian Ketiga yang berjudul Membangun Masyarakat Etika berisi tentang topik-topik seperti: Konsep-konsep Kosmologi Dalam Al-Qur’an; Konsep-konsep Antropologi Dalam Al-Qur’an; Konsep-konsep “Hukum” Dalam Al-Qur’an; Dimensi Kemanusiaan dalam Usaha Memahami Ajaran Agama; Makna Perorangan dan Kemasyarakatan dalam Keyakinan Agama; Universalisme Islam dan Kedudukan Bahasa Arab; Menangkap kembali Dinamika Islam Klasik: Masyarakat Salaf Sebagai Masyarakat Etika, Pertimbangan Kemashlahatan dalam menangkap Makna dan Semangat Ketentuan Keagamaan; Masalah Etos Kerja di Indonesia dan Kemungkinan Pengembangan dari Sudut Pandangan Ajaran Islam. Kalau dicermati, ketika ingin membangun masyarakat etika, Cak Nur membahas masyarakt Salaf (Masyarakat Islam pada zaman Nabi Muhammad saw dan khulafaurrasyidin) sebagai contoh atau model.

Bagian keempat berjudul Universalisme Islam dan Kemoderenan dan berisi topik-topik beriku: Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Kebudayaan Islam; Makna Modernitas dan Tantangannya Terhadap Islam; Ajaran nilai Etis dalam Kitab Suci dan relevansinya bagi Kehidupan Moderen; Kemungkinan Menggunakan Bahan-bahan Moderen untuk Memahami Kembali Pesan Islam; Konsep-konsep Keadilan dalam Al-Qur'an dan Kemungkinan Perwujudannya dalam Konteks Zaman Moderen; Masalah Teknologi dan Kemungkinan Mengatasi Ekses Negatif Penggunaannya; Islam dan Budaya Lokal: Masalah Akulturasi Timbal Balik; Kaum Muslimin dan Partisipasi Sosial Politik; Reaktualisasi Nilai-nilai Kultural dan Spiritual dalam Proses Tranformasi Masyarakat. Menarik sekali membaca bagian ini, salah satunya disebabkan bagian ini dimulai dengan topik tentang universalisme Islam dan kosmopolitanisme kebudayaan Islam dan diakhiri dengan topik Reaktualisasi Nilai-nilai kultural dan spiritual dalam proses tranformasi masyarakat.

Umat Islam Indonesia Memasuki Zaman Moderen

Pembahasan yang panjang dalam Islam Doktrin dan Peradaban, yang pada awalnya merupakan kumpulan tulisan, tentunya membutuhkan pengantar yang memadai. Dan Cak Nur memilih untuk memberikan pengantar yang begitu panjang, yaitu sekitar 113 halam (dari halaman 11 sampai halaman 124 [xi – cxxiv]). Saking Panjangnnya pengantar tersebut bisa diterbitkan menjadi buku tersendiri.

Tentang panjangnya pengantar untuk buku ini Cak Nur mengemukakan tiga alasan. Pertama, untuk menghantarkan para pembaca kepada ide-ide pokok dalam buku ini. Kedua, untuk sharing ide-ide pokok itu sebagai agenda pembahasan bersama menuju kepada solusi berbagai persoalan kita sebagai orang Muslim Indonesia di zaman moderen. Ketiga, dengan pengantar ini diharapkan memudahkan terjadinya umpan balik yang konstruktif dan kreatif dari semua (Lihat halaman cxxi).

Pengantar dimulai dengan pengalaman Paramadiana yaitu tentang bagaimana suasana kondusif yang tercipta dalam KKA walaupun forum tersebut diikuti oleh berbagai kalangan yang berbeda latar belakang. Suasana tersebut muncul karena setiap peserta KKA mampu memahami bahwa semua orang yang beriman adalah bersaudara. Prinsip utama dalam persaudaraan tersebut, sebagaimana yang diajarkan Kitab Suci, adalah hendaknya tidak ada suatu kelompok di antara kaum beriman, pria maupun wanita, yang merendahkan kelompok yang lain, kalau-kalau mereka yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka yang merendahkan (Lihat halaman xii).

Pengalaman Paramadina juga membuktikan bahwa paham Pluralisme, baik intra-umat Islam maupun antar umat, bisa diwujudkan. Dan juga bahwa kita perlu lebih memperhatikan semangat kemanusiaan (habl min al-nas) yang sangat tinggi. Ini karena habl min al-nas merupakan sisi kedua dari semangat ketuhanan (habl min Allah).

Kita juga perlu meningkatkan pengetahuan dalam segi peradaban, termasuk peradaban Islam. Karena pengetahuan akan peradaban berdampak pada perluasan pada cakrawala yang nantinya akan mampu membebaskan kita dari dogmatisme dan normatifisme. Tapi yang perlu diingat bahwa keterlepasan dari dogmatisme dan normatifisme tidak boleh membuat kita terjebak pada historisisme.

Pembahasan dalam kata pengantar yang panjang ini terbagi menjadi sub-sub pembahasan yang banyak, yaitu: Agama dan Kemanusiaan; Ketuhanan dan Masalah Mitologi; Ketuhanan Yang Maha Esa dan Demitologisasi; Pengalaman Kristen di Masa Lalu; Pengalaman Islam di Masa Lalu; Ilmu Pengetahuan dan Mitologi; Iman, Ilmu, dan Amal; Latar Belakang Sosio-Budaya Indonesia; Islam dan Sistem Sosial Kolonial “Hindia Belanda”; Islam di Indonesia: Masalah Perkembangan; Islam di Indonesia: Masalah Kemajemukan; Pluralisme Islam dan Pluralisme Moderen; Pluralisme Islam dan Pluralisme Pancasila; Islam dan Negara, Serta Masalah Sekularisme; Sebuah Solusi Islam.

Dengan melihat sub-sub pembahasan yang ada dalam pengantar ini mungkin kita bisa sedikit mempunyai gambaran. Sub bab yang pertama adalah tentang agama dan kemanusiaan, dimana kita akan diajak untuk mendiskusikan atau memahami ulang tentang pentingnnya kemanusiaan, dan agama tidak boleh menafikan itu. Selanjutnya kita akan diajak untuk membahas tentang salah satu problem kepercayaan manusia, yaitu mito-mitos, yang akhirnya bagaimana hubungannya dengan konsep Ketuhahan Yang Maha Esa.

Pada sub bab selanjutnya kita diajak sedikit melakukan “studi komparatif” tentang pengalaman Kristen dan Islam dalam hal keyakinan/ mitologi berhadapan dengan ilmu pengetahuan. Islam bukanlah agama yang keyakinannya didasarkan atas mitos-mitos sehingga Islam sedari awal tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Bahkan Islam berhasil mengemban obor ilmu pengetahuan dan peradaban selama kurang lebih lima abad, bahkan ada yang mengatakan tujuh abad.

Kemudian kita akan diajak untuk membahas kembali tentang iman, ilmu, dan amal. Tema ini mungkin sudah jadi tema yang biasa dibahas. Tapi disini Cak Nur membahasnya dengan menarik sehingga tidak terasa kalau tema tersebut termasuk tema “yang usang”.

Dalam empat sub bab selanjutnya kita akan diajak untuk memahami Islam di Indonesia, mulai dengan latar belakang sosio-budaya Indonesia yang memiliki masyarakat yang majemuk, kemudian bagaimana dengan penjajahan Belanda yang berdampak pada corak Islam yang ada di Indonesia.

Pluralisme Islam, pluralisme moderen, pluralisme Pancasila, masalah sekularisme, dan solusi yang ditawarkan Islam dibahas di empat bab selanjutnya. Islam mempunyai ajaran tentang pluralisme, mempunyai sejarah yang menakjubkan tentang pluralisme, dan akhirnya mempunyai kesesuaian dengan pluralisme moderen, bahkan lebih baik. Pancasila yang menganut pluralisme juga akhirnya bersesuaian dengan ajaran dan pengalaman Islam.

Pembahasan yang panjang dalam kata pengantar ini diikuti oleh kutipan-kutipan dari pendapat tokoh dari berbagai latar belakan, di antaranya: Ibnu Taimiyah, Robert N. Bellah, Joseph Campbell, Max I. Dimont, Max Weber dan masih banyak lagi tokoh lainnya.

Penutup

Pembahasan yang panjang lebar tersebut tentu mengandung banyak materi penting untuk dicermati. Di antara sekian materi penting tersebut saya teringat dengan salah satu pernyataan, yaitu ketika Cak Nur membandingkan India dan Indonesia. India mayoritas penduduknya beragama Hindu, tapi simbol dan kebanggaan nasionalnya adalah Taj Mahal, bangunan indah peninggalan kerajaan Moghul yang Islam. Sedangkan Indonesia yang lebih dari 90 persen penduduknya memeluk Islam simbol dan kebanggaan nasionalnya adalah Borobudur yang merupakan peninggalan agama Budha. Ini karena Islam pernah membangun peradaban besar di India, sedang di Indonesia belum.

Dari itu Cak Nur mengungkapkan perkataan retorik: “Islam di Indonesia tidak mempunyai masa silam. Islam di Indonesia hanya mempunyai masa depan!”(Lihat halaman lxcvii).

Dan saya tidak mau memperpanjang tulisan ini, sekian.


*)Tulisan ini disampaikan pada Diskusi Rutin “Madzhab Djaeng”, Kamis, 05 Agustus 2010. Madzhab Djaeng sendiri merupakan sebuah diskusi rutin mingguan yang pesertanya adalah para aktivis mahasiswa, kader umat dan kader bangsa. Diskusi Rutin bisa berjalan dengan baik berkat kerja keras dan kerja cerdas dari sdr. Zamzam dkk. Nama “Madzhab Djaeng” diambil dari tempat diskusi tersebut biasa diadakan, yaitu sebuah warung kopi lesehan yang terletak di jalan Djaeng, sebelah barat kampus tiga Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).


Artikel Terkait:

Masukkan Email Untuk Berlangganan

0 komentar:

Post a Comment

Berikan Komentar Anda! Saya Akan Sangat Senang Bila Anda Melakukannya. Tapi Ingat!!! Komentar Yang Membangun ya?. Trims.