Wednesday, February 23, 2011

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Kenapa perlu mengulas JAI? Pada dasarnya saya tidak terlalu tertarik untuk membahas kelompok yang satu ini. Di Indonesia kelompok ini tidak terlalu besar. JAI hanyalah kelompok kecil yang keberadaannya sebenarnya tidak terlalu signifikan baik dalam hal kontribusi postif maupun kontribusi negatif. Tapi karena media selalu membahas timbul juga ketertarikan untuk membahasnya.

Ketika sedang penempuh pendidikan di Ponorogo saya mendapatkan pelajaran Al-Adyan dan Diyanah. Pelajaran Al-Adyan dan Dinayanah membahas pada awalnya membahas tentang Islam dan kemudian membahas tentang agama-agama yang lain. Bisa dikatakan bahwa Diyanah merupakan Pelajaran tentang Perbandingan Agama. Salah satu topik pembahasan di pelajaran Diyanah adalah Ahmadiyah.


Ahmadiyah merupakan sebutan bagi pengikut Mirza Ghulam Ahmad. Mirza Ghulam Ahmad sendiri lahir di Qodiyan, sebuah desa di India, pada tanggal 13 Februari 1835 dan meninggal pada 26 Mei 1908.

Mirza Ghulam Ahmad mengaku bahwa dirinya adalah adalah Mahdi sekaligus Isa Al-Masih. Selain itu, yang cukup mengejutkan, dia mengaku bahwa dirinya adalah seorang Nabi. Dirinya merupakan nabi terakhir sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an. Untuk memperkuat hal tersebut ia menakwilkan kata “khatam al-nabiyyin” yang tercantum dalam Al-Qur’an (QS. Al-Ahzab [33]: 40) sebagai “cincin para nabi”. Penakwilan yang dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad terhadap kata “khatam al-nabiyyin” ini tentu berbeda jauh dari penafsitan setandar dari kata tersebut, yaitu “Penutup Para Nabi”.

Ahmadiyah kemudian terpecah menjadi dua aliran, yaitu: Ahmadiyah Qodyaniyah dan Ahmadiyah Lahoriyah. Aliran Qodyaniyah tetap menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Sedang Aliran Lahoriyah tidak lagi menganggap Mirza sebagai nabi, tapi dia hanyalah seorang Mujaddid atau pembaharu. Walaupun demikian kedua aliran tersebut tetap sepakat pada pendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Mahdi dan seorang al-Masih sekaligus.

Saya baru-baru ini saja mengerti bahwa di Indonesia Ahmadiyah Qodyaniyah bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Untuk lebih jelas tentang JAI bisa mengunjungi situs mereka di http://www.ahmadiyya.or.id. Sedangkan Ahmadiyah Lahoriyah bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Untuk mengetahui lebih jelas tentang GAI bisa mengunjung situs mereka di http://www.ahmadiyah.org.

Mahdiisme dan Mesianisme

Salah satu pengakuan Ghulam Ahmad adalah bahwa ia merupakan Al-Masih sekaligus juga Mahdi. Mirza menggunakan sebuah hadits yang menyebutkan bahwa tidak ada Mahdi kecuali Isa bin Maryam (maaf, saya blm sempat mencari riwayat hadits ini).

Sebagaimana diketahui bahwa umat Islam mengakui bahwa Isa al-Masih belum meninggal dan suatu saat nanti akan mencul kembali di akhir zaman dan membeberkan semua kebenaran. Kemunculan kembali Isa al-Masih merupakan salah satu dari sekian tanda akan terjadinya kiamat atau akhir dari kehiudpan dunia.

Sedangkan munculnya Mahdi dipercayai oleh sebagian umat Islam. Kaum Syia’ah merupakan kelompok yang meyakini kemunculan Mahdi atau Imam Mahdi. Syi’ah Dua Belas misalnya (Aliran Syi’ah yang dianut mayoritas penduduk Iran dan sekitarnya). Mereka meyakini bahwa imam mereka yang terakhir, yang hilang ketika masih muda, sebagai Imam Mahdi yang dinantikan atau al-Mahdi al-Muntadzar.

Keyakinan akan munculnya Al-Masih disebut dengan Mesianisme. Sedang keyakinan akan hadirnya Mahdi disebut Mahdiisme. Di Indonesia ada keyakinan yang menyerupai mesianisme dan mahdiisme. Sebagian masyarakat Jawa meyakini akan hadirnya Ratu Adil.

Saya sendiri menyangsikan bahwa mesianisme maupun mahdiisme mempunyai landasan yang kuat dalam keyakinan Islam. Mesianisme sendiri lahir dalam masyarakat Yahudi ketika mereka berada dalam kesengsaraan. Yaitu saat mereka berada dalam cengkraman perbudakan Raja Nebukatnezar. Mahdiisme sendiri berkembang subur di kalangan Syi’ah karena mereka selalu mengalami penindasan. Walaupun begitu Mesianisme dan Mahdiisme merupakan keyakinan yang ampuh bagi masyarakat yang sedang tertindas. Kepercayaan akan hadirnya pemimpin yang akan membawa mereka keluar dari keterpurukan dan ketertindasan menjaga semangat mereka untuk bertahan.

Kenabian, Wahyu dan Ilham

Pengakuan Mirza Ghulam Ahmad yang paling menghebohkan dan kontroversial adalah bahwa dia adalah Nabi. Ini dikarenakan sudah menjadi standar dalam keyakinan Islam bahwa Muhammad Saw merupakan penutup para nabi dan rasul. Bukan hanya itu, Muhammad murapakan penerus ajaran para nabi sebelumnya kemudian menyempurnakannya. Karena itulah Islam merupakan ajaran yang sempurna dan Final.

Kalau begitu, Mirza Ghulam Ahmad berati nabi palsu? Apakah Mirza hanyalah seorang pembohong yang mengaku-aku sebagai orang yang diangkat menjadi Nabi oleh Allha?

Salah satu malaikat yang dipercayai, bahkan wajib diperayai, adalah Malaikat Jibril. Jibril sendiri berasal dari bahasa Ibrani “gibra” dan “el” yang berati utusan El tau utusan Tuhan. Ini dikarenakan tugas Jibril adalah menyampaikan wahyu dari Tuhan kepada para nabi dan utusan-Nya.

Dengan berakhirnya periode kenabian apakah berakhir pula tugas dari Jibril? Saya kita pertanyaan itu pernah muncul dibenak kita. Dan jawaban dari pertanyaan tersebut saya kira juga sangat setandar: Jibril belum pensiun. Ia masih berutgas untuk menyampaikan ilham kepada manusia.

Jawaban bahwa Jibril masih selalu menyampaikan ilham kepada manusia dibenarkan oleh studi perbabdingan agama. Para tokoh tasawuf pun membenarkan pendapat tersebut. Artinya selalu ada manusia-manusia yang menerima ilham dari Tuhan. Dan ilham adalah pentuk lain dari wahyu. Ilham diberikan kepada orang-orang “yang dipilih Tuhan”. Hanya saja orang-orang tersebut tidak disebut nabi. Mereka hanya “semacam nabi”.

Masih terus adanya manusia-manusia yang menerima ilham (coba bandingkan istilah “ilham” dengan istilah “wangsit”) menyebabkan selalu ada orang-orang yang merasa mendapatkan pesan dari Tuhan. Bisa jadi Mirza Ghulam Ahmad adalah salah satu dari mereka.

Para Pembaharu

Ahmadiyah Lahoriyah menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang pembaharu bukan seorang nabi. Adanya pembaharu agama sendiri mempunyai dasar dalam Islam. Bembaharu tersebut hadir setiap awal abad. Salah satu organisasi kegamaan di Indonesia, Persyarikatan Muhammadiyah, menganggap gerakannya sebagai gerakan pembaharuan.

Saya sendiri kurang jelas dengan maksud awal abad sebagaimana yang dimaksud. Abad di sini menggunakan abad menurut hitungaan kalender Miladiyah/Masehi atau menggunakan kalender Hijriyah? Ada kecenderungan bahwa abad di sini menggunakan kalender Miladiyah. Ini dikarenakan ketika Muhammad Saw hidup belum ada hitungan tahun menurut kalender Hijriyah.

Pembaharu sendiri sebenarnya pengganti dari nabi. Ini dikarenan kenabian sudah berakhir, padahal dunia akan selalu berkembang, termasuk permasalahan-permasalahn yang ada di dalamnya.

Ahmadiyah di Indonesia

Senagaimanaa telah disinggung di atas bahwa Ahmadiyah Qodyaniyah di Indonesia terorganisir dalam wadah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sedang Ahmadiyah Lahoriyah tergabung dalam Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Ahmadiyah sendiri sudah berada di kepulauan nusantara sejak Indonesia belum memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945.

Sebagaimana di negara dengan penduduk mayoritas muslim lainnya, keberadaan Ahmadiyah di Indonesia menjadi polemik. Umat Islam mempermasalahkan Ahamdiyah. Akhirnya Musyawarah Nasional Kedua Majelis Ulama Indonesia (Munas II MUI) pada tahun 1980 Mengeluarkan Fatwa Sesat bagi Ahmadiyah Qodyaniyah.

Fatwa ini dipertegas kembali oleh Fatwa MUI Nomor: 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 Tentang ALIRAN AHMADIYAH. Berikut keputusan fatwa tersebut:

  1. Menegaskan kembali fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).

  2. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis.

  3. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.


Dalam salah satu konsideran Memperhatikan fatwa MUI menggunakan Keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI). Bunyi konsiderannya adalah sebagai berikut:

Keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) Nomer 4 (4/2) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi, pada tanggal 10-16 Rabi’ al-Tsani 1406 H./22-28 Desember 1985 M tentang Aliran Qodiyaniyah, yang antara lain menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qath’i dan disepakati oleh seluruh ulama Islam bahwa Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir.
Teks Keputusan tersebut adalah sebagai berikut:

“Sesungguhnya apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dirinya, tentang risalah yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adalah sebuah pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya secara qath’i (pasti) dan meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad Rasulullah adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak akan ada lagi wahyu yang akan diturunkan kepada seorang pun setelah itu. Keyakinan seperti yang diajarkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut membuat dia sendiri dan pengikutnya menjadi murtad, keluar dari agama Islam. Aliran Qadyaniyah dan Aliran Lahoriyah adalah sama, meskipun aliran yang disebut terakhir (Lahoriyah) meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah sebagai bayang-bayang dan perpanjangan dari Nabi Muhammad SAW.”


Ini membuat Fatwa MUI kali ini tidak hanya menganggap aliran Qodyaniyah (JAI) yang sesat, tetapi juga aliran Lahoriyah (GAI). Dalam penjelasan tentang fatwa tersebut Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan MUI mengemukakan bahwa pada dasarkan Aliran Lahoriyah tidak jauh berbeda dengan Qodyaniyah. Pernedaan hanya ada pada tataran retorika belaka. Berikut penjelasan lengkapnya:

Pertama, Mirza Ghulam Ahmad, sebagaimana telah disebut di atas, dalam berbagai tulisannya sendiri jelas mengaku dirinya sebagai al-Masih, al-Mahdi dan nabi/rasul, dan Ahmadiyah Lahore berimam kepada orang yang mengaku dirinya nabi. Oleh karenanya, hukum para pengikut ini (Ahmadiyah Lahore) sama dengan hukum orang yang diikuti/diimaminya.

Kedua, sebelum terpecah menjadi dua golongan, semua pengikut Ahmadiyah mengakui kenabian Mirza, termasuk Muhammad Ali, pemimpin Ahmadiyah Lahore, sebagaimana juga telah disebut di atas. Bahkan dalam Bigham Shulh, yang merupakan lembaran penjelasan mengenai golongan mereka dikatakan : “Kami melihat bahwa Hadlrat al-Masih al-Mau’uud dan al-Mahdi al-Ma’huud adalah seorang nabi dan rasul-Nya…”. Dengan begitu pengakuan Ahmadiyah Lahore bahwa Mirza hanyalah al-Masih, al-Mahdi dan Mujaddid hanyalah retorika, karena mereka tidak pernah secara resmi menginkari tulisan-tulisan (pengakuan) mereka sebelumnya. Selain itu, pendapat mereka bahwa Mirza adalah mujaddid adalah hiilat lafziyyah (tipuan kata) karena maksud pernyataan tersebut senada dengan pendapat Qodiyan tentang Mirza sebagai “nabi zhilyi” atau “buruzy”, “nabi ghairu tasyri’i” dan “nabi ummati”. Hal itu terlihat dalam tulisan Muhammad Ali Lahore dalam kitabnya al-Nubuwwah fi al-Islam, yang ditulisnya setelah ia memisahkan diri dari kelompok Qodiyan. Pendapatnya ialah:

“Sesungguhnya al-Masih al-Mau’uud dalam tulisannya terdahulu menetapkan satu hal, yaitu bahwa pintu kenabian memang tertutup, namun salah satu bentuk kenabian masih memungkinkan dicapai/diraih. Hal ini tidak berarti kami mengatakan bahwa pintu kenabian masih terbuka, tetapi kami katakan bahwa bahwa pintu kenabian tertutup, hanya saja salah satu bentuk kenabian masih tetap ada dan berlanjut hingga akhir kiamat. Itu juga tidak berarti kami mengatakan bahwa seseorang dapat menjadi nabi, tetapi dapat saja (seseorang) mencapai kenabian itu dengan jalan mengikuti Nabi Muhammad SAW. Orang semacam ini dapat disebut sebagai manusia biasa pada satu sisi, dan sebagai nubuwwah juziyyah pada sisi yang lain…”.

Ketiga, selain meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Masih dan al-Mahdi, Ahmadiyah Lahore memiliki keyakinan yang sama dengan Ahmadiyah Qodiyan dalam hal Mirza Ghulam Ahmad menerima wahyu dari Allah yang wajib diikuti oleh seluruh manusia, dan bahwa semua yang ditulisnya serta pengakuannya adalah kebenaran yang wajib diikuti oleh semua muslim. Bahkan Muhammad Ali dalam Nubuwwah fi al-Islam menyatakan :

“Sesungguhnya kalian (Ahmadiyah Qodiyan) dengan menjadikan Mirza sebagai nabi yang sempurna, pengakuan kalian itu derajatnya tidak lebih tinggi dari pengakuan kami kepadanya (Mirza). Dengan menjadikkan kenabianya (Mirza) sebagai nubuwwah juziyyah, maka sesungguhnya kami meyakini akan wajibnya mengikuti wahyu (yang diturunkan kepada Mirza) pada batas yang kalian imani, bahkan kami mengimaninya secara amaliyah melebihi yang kalian imani”.

Keempat, bahwa betapapun kedua kelompok ini berbeda dalam beberapa hal, namun mereka sepakat pada hal-hal berikut :

  1. Bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Mahdi al-Ma’huud dan al-Masih al-Mau’uud, sebagaimana diberitakan nabi Muhammad SAW.

  2. Bahwa pada Mirza Ghulam Ahmad diturunkan wahyu, yang wajib dibenarkan dan diikuti oleh seluruh manusia.

  3. Bahwa kedua kelompok ini sesungguhnya memilki “konsep kenabian” Mirza Ghulam Ahmad, meski penjelasannya berbeda.

  4. Bahwa apa yang didakwahkan, diucapkan, dan ditulis dalam semua karya dan tulisan Mirza Ghulam Ahmad adalah sebuah kebenaran.

  5. Bahwa mereka yang mendustakan atau menginkari dakwah Mirza Ghulam Ahmad adalah kafir.


Keputusan Bersama Tiga Menteri

Keluarnya fatwa MUI tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Salah satunya karena poin terakhir dari fatwa tersebut dimana ada kata “Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.”

Kelompok yang pro meminta pemerintah menindaklanjuti fatwa tersebut dengan membubarkan Ahmadiyah. Sedang yang kontra berpendapat bahwa pemerintah berkewajiban untuk menjaga hak warga negaranya, yang salah satunya adalah kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Menanggapi hal ini pemerintah akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri yang dikeluarkan Juni 2008, atau yang disebut dengan SKB Tiga Menteri. SKB Tiga Menteri tersebut Tentang Peringatan Dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, Dan/Atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Dan Warga Masyarakat:

  1. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

  2. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokokpokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW

  3. Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.

  4. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

  5. Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  6. Memerintahkan kepada aparat Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini.


Kalau fatwa MUI menganggap sesat Ahmadiyah, baik Qodyaniyah maupun Lahoriyah, SKB Tiga Menteri hanya membahas Ahmadiyah Qodyaniyah atau Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Ahmadiyah dan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan

SKB Tiga Menteri dianggap jalan tengah bagi kelompok yang menginginkan pembubaran Ahmadiyah dan bagi kelompok yang tidak menginginkan pembubaran pengikut Mirza Ghulam Ahmad tersebut.

Walaupun demikian SKB Tiga Menteri masih meninggalkan masalah. SKB dianggap melanggar hak warga negara yang tercantum dalam UUD 45 pasal 28E. Selengkapnya bunyi pasal 28E adalah sebagai berikut:

  1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

  2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

  3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.


Penutup

MUI dan Organisasi Islam lainnya berhak untuk mengeluarkan fatwa yang menganggap kelompok atau aliran tertentu sesat. Itu bertujuan sebagai panduan bagi umat. Tapi MUI dan organisasi manapun tidak berhak bisa meminta kepada pemerintah untuk membubarkan suatu aliran dengan alasan bahwa aliran tersebut sesat. Ini karena UUD menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi seluruh warga negeranya.

Trims []

Artikel Terkait:

Masukkan Email Untuk Berlangganan

0 komentar:

Post a Comment

Berikan Komentar Anda! Saya Akan Sangat Senang Bila Anda Melakukannya. Tapi Ingat!!! Komentar Yang Membangun ya?. Trims.